MATERI KOMUNIKASI EFEKTIF






Description: Description: 20141002174916.jpg






Disusun Oleh:
  1.Arum purnama putri
2.Oktaviana Rofikoh
3.Rizka Hidayatul P.

















PROGRAM D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS  ILMU  KESEHATAN
UNIVERSITAS  PESANTREN  TINGGI  DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Komunikasi merupakan satu faktor yang menentukan kebahagiaan manusia, komunikasi juga faktor paling penting untuk menjalin hubungan yang rapat dengan seorang manusia lain. Manusia berkomunikasi karena ada beberapa tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pertama, individu berkomunikasi dengan manusia lain adalah karena individu tersebut hendak memahami orang lain. Individu hendaknya mengenali siapa mereka, siapa diri mereka, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan dan macam-macam lagi konteks kalimat berkenaan dengan dirinya. Menurut Smith (1966), komunikasi manusia adalah satu rangkaian proses yang harus yang digunakan manusia untuk berinteraksi, mengawali antara satu sama lain dan memperoleh kepahaman. Komunikasi adalah bentuk interaksi secara lisan atau bukan lisan di antara suami dan isteri, orangtua dan anak, dan dapat juga interaksi dari semua anggota keluarga. Ini termasuk pernyataan sikap, nilai, minat, kepercayaan, perasaan dan pemikiran dalam kehidupan hari-hari.
Komunikasi efektif merupakan Komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change) pada orang yang terlibat dalam komunikasi. Kita harus sadar akan pentingnya komunikasi khususnya komunikasi efektif, agar segala sesuatu yang kita tampilkan dan lakukan adalah komunikasi, maka penampilan dan segala sesuatu yang kita lakukan merupakan pesan.
Komunikasi tidak terbatas pada kata-kata yang terucap belaka, melainkan bentuk dari apa saja interaksi, senyuman, anggukan kepala yang membenarkan hati, sikap badan, ungkapan minat, sikap dan perasaan yang sama. Diterimanya pengertian yang sama adalah merupakan kunci dalam komunikasi. Tanpa penerimaan sesuatu dengan pengertian yang sama, maka yang terjadi adalah “dialog  antara orang satu”.


B.     Pokok Permasalahan
Untuk memudahkan proses penjabaran dan penjelasan, makalah ini memiliki beberapa rumusan masalah,yaitu:
1.Apa pengertian dari komunikasi?
2.Apa pengertian dari komunikasi efektif
3.Mengetahui tujuan komunikasi
4.Mengetahui aspek-aspek dalam komunikasi
5. Mengetahui komunikasi dalam keperawatan antara faktor pendukung dan tidak mendukung

C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ilmiah ini adalah untuk mengetahui pengertian dari komunikasi, tujuan komunikasi,aspek aspek dalam komunikasi,hubugan komunikasi dengan peran perawa. Di samping itu, makalah ini ditulis sebagai tugas kelompok pada mata kuliah pengembangan diri. Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk menambah wawasan kita tentang cara berkomunikasi yang efektif.
2.      Dapat mengetahui hal – hal yang dapat menambah wawasan dalam berkomunikasi.































BAB II
PEMBAHASAN



A .DEFINISI KOMUNIKASI

            Kata komunikasi berasal dari bahasa latin coomunicare yang berarti berpartisipasi atau memberitahukan. Komunikasi adalah suatu yang dapat dipahami sebagai hubungan atau saling hubungan, saling pengertian, sebagai pesan. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan (Edwar Depari, AW Widjaja,2000). Komunikasi adalah proses yang mana symbol verbal dan non verbal dikirimkan,diterima dan diberi arti (William J Seiller,1988).

Menurut Louis Forsdale (1981), seorang ahli komunikasi dan pendidikan mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu system dapat di diri kan, dipelihara dan diubah. Komunikasi  adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

KESIMPULAN : komunikasi merupakan proses pengiriman atau perukaran (stimulus,signal,symbol,informasi) baik dalam bentuk verbal maupun non verbal dari pengirim ke penerima pesan dengan tujuan adanya perubahan (baik dalam aspek kognitif, efektif, maupun psikomotor).
B.  TUJUAN KOMUNIKASI
            Tujuan komunikasi antara lain adalah :
1.      Supaya pesan yang kita sampaikan dapat di mengerti oleh orang lain (komunikan)
2.      Memahami orang lain
3.      Supaya gagasan dapat diterima orang lain
4.      Menggerakan orang lain untuk melakukan sesuatu
Secara singkat dapat kita katakana bahwa tujuan komunikasi adalah mengharapkan pengertian, dukungan, gagasan, dan tindakan komunikator dapat diterima oleh orang lain (komunikasi). Sebagai tenaga kesehatan yang memiliki tanggungjawab sesuai dengan tugas dan wewenangnya, secara umum komunikasi yang dilakukan perawat memiliki tujuan dan target yaitu :
a.       Social change / social participation
b.      Attitude change
c.       Opinion change
d.      Behavior change
Komunikasi yang dilakukan perawat bertujuan agar pelayanan keperawatan yang diberikan dapat berjalan efektif. Kemampuan komunikasi yang efektif ini merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh perawat professional.
C. PENGERTIAN KOMUNIKASI EFEKTIF
Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Oleh karena itu, dalam bahasa asing orang menyebutnya “the communication is in tune” ,yaitu kedua belah pihak yang berkomunikasi sama-sama mengerti apa pesan yang disampaikan.
Syarat-syarat untuk berkomunikasi secara efektif adalah antara lain :
1. Menciptakan suasana yang menguntungkan.
2. menggunakan bahasa yang mudah ditangkap dan dimengerti.
3. pesan yang disampaikan dapat menggugah perhatian atau minat di pihak komunikan.
4. Pesan dapat menggugah kepentingan dipihak komunikan yang dapat menguntungkannya.
5. Pesan dapat menumbuhkan sesuatu penghargaan atau reward di pihak komunikan.
D. TUJUAN KOMUNIKASI EFEKTIF
Tujuan komunikasi efektif adalah memberi kemudahan dalam memahami pesan yang diberikan.
 Bentuk komunikasi efektif :
   1. Komunikasi verbal efektif :
       - Berlangsung secara timbal balik.
       - Makna pesan ringkas dan jelas.
       - Bahasa mudah dipahami.
       - Cara penyampaian mudah diterima.
       - Disampaikan secara tulus.
       - Mempunyai tujuan yang jelas.
       - Memperlihatkan norma yang berlaku.
       - Disertai dengan humor.

   2. Komunikasi non verbal :
        Yang perlu di perhatikan dalam komunikasi non verbal adalah :
       - Penampilan visik.
       - Sikap tubuh dan cara berjalan.
       - Ekspresi wajah.
       - Sentuhan

E ASPEK DALAM MEMBANGUN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
a. Kejelasan
             Dalam komunikasi harus menggunakan bahasa  secara jelas, sehingga mudah diterima dan dipahami oleh komunikan.
b. Ketepatan
            Ketepatan atau akurasi ini menyangkut penggunaan bahasa yang benar dan kebenaran informasi yang disampaikan.
c. Konteks
             maksudnya  bahwa bahasa dan informasi yang    disampaikan harus sesuai dengan keadaan dan lingkungan dimana komunikasi itu terjadi.
d. Alur
            Bahasa dan informasi yang akan disajikan harus disusun dengan alur atau sistematika yang jelas, sehingga pihak yang menerima informasi cepat tanggap
e. Budaya                                                                                        
            Aspek ini tidak saja menyangkut bahasa dan informasi, tetapi juga berkaitan dengan tatakrama dan etika. Artinya dalam berkomunikasi harus menyesuaikan dengan budaya orang yang diajak berkomunikasi, baik dalam penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal, agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi.

F. KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN
            Komunikasi adalah penyebab pertama masalah keselamatan pasien (patient safety).            Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar manusia. Komunikasi yang efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami oleh penerima mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien.
Factor yang dapat mendukung komunikasi efektif:
1. Dalam profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan metoda utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan.
2. Komunikator merupakan peran sentral dari semua peran perawat yang ada.
3. Kualitas komunikasi adalah factor kritis dalam memenuhi kebutuhan klien.
Faktor yang tidak mendukung komunikasi efektif:
1.  Tanpa komunikasi yang jelas, dapat memberikan pelayanan keperawatan yang tidak efektif,
2. tidak dapat membuat keputusan dengan klien/keluarga,
3. tidak dapat melindungi klien dari ancaman kesejahteraan,
4.      tidak dapat mengkoordinasi dan mengatur perawatan klien
5.      serta menberikan pendidikan kesehatan.




































BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
            Komunikasi efektif dalam pembelajaran merupakan proses transformasi pesan berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dari pendidik kepada peserta didik, dimana peserta didik mampu memahami maksud pesan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menimbulkan perubahan tingkah laku menjadi lebih baik. Pengajar adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap berlangsungnya komunikasi yang efektif dalam pembelajaran, sehingga dosen sebagai pengajar dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik agar menghasilkan proses pembelajaran yang efektif.

3.2.Saran
            Dalam berkomunikasi sebaiknya dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan menggunakan bahasa yang baik,sopan dan apabila menggunakan bahasa tubuh,gunakan bahasa tubuh yang sopan dan tidak membuat teman yang berkomunikasi kita tersinggung dengan perkataan dan gerak tubuh kita.




















DAFTAR PUSTAKA


http://ngandel.blogspot.com/2012/05/makalah-komunikasi.html
http://armarekhamsik.blogspot.com/2012/03/makalah-komunikasi-efektif-mata-kuliah.html

http://kelompok3-komunikasi.blogspot.com/2012/01/lima-aspek-dalam-membangun-komunikasi.html
Tugas katim, PP, PA, anggota

1. Tugas PP

 Menerima klien dan mengkaji kebutuhan klien secara komprehensif

 melakukan kontrak dengan klien dan keluarga

 melakukan pengkajian terhadap klien baru/melengkapi hasil dari PA

 menetapkan rencana askep dan menjelaskan pada PA (preconfernce)

 Melaksanakan rencana yang telah dibuat selama praktik

 menetapkan PA yang bertanggung jawab pada klien

 melakukan bimbingan dan evaluasi pada PA dalam melakukan tindakan keperawatan

 memonitor dokumentasi yang dilakukan PA

 Membuat jadwal perjanjian klinik

 mengatur pelaksanaan konsul dan lab

 membantu dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan PA

 melakukan kegiatan serah terima klien

 mendampingi visit team medis

 melakukan evaluasi askep dan membuat catatan perkembangan klien setiap hari

 Mengomunikasikan dan mengoordinasikan pelayanan yang diberikan oleh disiplin lain

maupun perawat lain

 memberikan pendidikan kesehatan pada klien dan keluarga

 membuat rencana pulang

 Melakukan rujukan kepada pekarya sosial dan kontak dengan lembaga sosial di

masyarakat

 Mengadakan kunjungan rumah

 bekerja sama dengan CCM

2. Tugas PA

Perawat associate adalah seorang perawat yang diberi wewenang dan ditugaskan untuk

memberikan pelayanan keperawatan langsung kepada klien. Berikut uraian tugas PA:

 Memberikan pelayanan keperawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan

dengan sentuhan kasih sayang:

 Menyusun rencana perawatan sesuai dengan masalah klien

 Melaksanakan tindakan perawatan sesuai dengan rencana

 Mengevaluasi tindakan perawatan yang telah diberikan

 Mencatat atau melaporkan semua tindakan perawatan dan respons klien pada catatan

perawatan

 Melaksanakan program medis dengan penuh tanggung jawab

 Pemberian obat

 Pemeriksaan laboratorium

 Persiapan klien yang akan operasi

 Memerhatikan keseimbangan kebutuhan fisik, mental, sosial, dan spiritual dari klien

 Memelihara kebersihan klien dan lingkungan

 Mengurangi penderitaan klien dengan memberi rasa aman, nyaman, dan ketenangan

 Pendekatan dan komunikais terapeutik

 Mempersiapkan klien secara fisik dan mental untuk menghadapi tindakan keperawatan

dan pengobatan atau diagnosis

 Melatih klien untuk menolong dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya

 Memberikan pertolongan segera pada klien gawat atau sakaratul maut

 Membantu kepala ruangan dalam penatalaksanaan ruangan secara administratif

 Menyiapkan data klien baru, pulang, atau meninggal

 Sensus harian atau formulir

 Rujukan harian atau formulir

 Mengatur dan menyiapkan alat-alat yang ada di ruangan menurut fungsinya supaya

siap pakai

 Menciptakan dan memelihara kebersihan, keamanan, dan kenyamanan, dan keindahan

ruangan

 Melaksanakan tugas dinas pagi, sore, malam, atau hari libur secara bergantian sesuai

jadwal tugas

 Memberikan penyuluhan kesehatan sehubungan dengan penyakitnya (PKMRS)

 Melaporkan segala sesuatu mengenai keadaan klien baik secara lisan maupun tulisan

 Membuat laporan harian klien

Berikut beberapa tugas lain dari perawat associate:

 membaca rencana perawatan yang telah ditetapkan PP

 membina hubungan terapeutik dengan klien dan keluarga

 menerima delegasi peran PP, bila PP tidak ada

 melakukan tindakan keperawatan berdasarkan rencana keperawatan

 melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan dan mendokumentasikan

 memeriksa kerapihan dan kelengkapan status keperawatan

 mengkomunikasikan semua masalah kepada PP

 menyiapkan klien untuk pemeriksaan diagnostik, lab, pengobatan dan tindakan

keperawatan

 berperan serta dalam memberikan pendidikan kesehatan

 melakukan inventarisasi fasilitas

 membantu tim lain yang membutuhkanb.

3. Tugas katim

 Fungsi:

a) Membuat perencanaan berdasarkan tugas dan kewenangannya yang didelegasikan

oleh kepala ruangan.

b) Membuat penugasan, supervisi dan evaluasi kinerja anggota tim/pelaksana.

c) Mengetahui kondisi pasien dan dapat menilai kebutuhan pasien.

d) Mengembangkan kemampuan anggota tim/pelaksana.

e) Menyelenggarakan konferensi

 Uraian Tugas:

a) Perencanaan:

 Mengikuti serah terima pasien dari shift sebelumnya bersama kepala ruangan.

 Bersama kepala ruangan melakukan pembagian tugas untuk anggota

tim/pelaksana.

 Menyusun rencana asuhan keperawatan.

 Menyiapkan keperluan untuk pelaksanaan asuhan keperawatan.

 Memberi pertolongan segera pada pasien dengan masalah kedaruratan.

 Melakukan ronde keperawatan bersama kepala ruangan.

 Mengorientasikan pasien baru.

 Melakukan pelaporan dan pendokumentasian

b) Pengorganisasian dan ketenagaan:

 Merumuskan tujuan dari metode penugasan keperawatan tim.

 Bersama kepala ruangan membuat rincian tugas untuk anggota tim/pelaksana

sesuai dengan perencanaan terhadap pasien yang menjadi tanggung jawabnya

dalam pemberian asuhan keperawatan.

 Melakukan pembagian kerja anggota tim/ pelaksana sesuai dengan tingkat

ketergantungan pasien.

 Melakukan koordinasi pekerjaan dengan tim kesehatan lain.

 Mengatur waktu istirahat untuk anggota tim/ pelaksana.

 Mendelegasikan tugas pelaksanaan proses keperawatan kepada anggota

tim/pelaksana.

 Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.

c) Pengarahan:

 Memberi pengarahan tentang tugas setiap anggota tim/ pelaksana.

 Memberikan informasi kepada anggota tim/ pelaksana yang berhubungan

dengan asuhan keperawatan.

 Melakukan bimbingan kepada anggota tim/ pelaksana yang berhubungan

dengan asuhan keperawatan.

 Memberi pujian kepada anggota tim/ pelaksana yang melaksanakan tugasnya

dengan baik, tepat waktu, berdasarkan prinsip, rasional dan kebutuhan pasien.

 Memberi teguran kepada anggota tim/pelaksana yang melalaikan tugas atau

membuat kesalahan.

 Memberi motivasi kepada anggota tim/pelaksana.

 Melibatkan anggota tim/ pelaksana dari awal sampai dengan akhir kegiatan.

 Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.

d) Pengawasan:

 Melalui komunikasi: mengawasi dan berkomunikasi langsung dengan

anggota tim/ pelaksana  asuhan keperawatan kepada pasien.

 Melalui supervisi: melihat/ mengawasi pelaksanaan asuhan keperawatan dan

catatan keperawatan yang dibuat oleh anggota tim/ pelaksana serta menerima/

mendengar laporan secara lisan dari anggota tim/pelaksana tentang tugas

yang dilakukan.

 Memperbaiki, mengatasi kelemahan atau kendala yang terjadi pada saat itu

juga.

 Mengevaluasi kinerja dan laporan anggota tim/ pelaksana dan

membandingkan dengan peran masing-masing serta dengan rencana

keperawatan yang telah disusun.

 Penampilan kerja anggota tim/ pelaksana dalam melaksanakan tugas.

 Upaya peningkatan kemampuan, keterampilan dan sikap.

 Memberi umpan balik kepada anggota tim/ pelaksana.

 Mengatasi masalah dan menetapkan upaya tindak lanjut.

 Memperhatikan aspek etik dan legal dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

 Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.

4. Tugas anggota

a. Perencanaan:

 Bersama kepala ruang dan ketua tim mengadakan serah terima tugas.

 Menerima pembagian tugas dari ketua tim.

 Bersama ketua tim menyiapkan keperluan untuk pelaksanaan asuhan keperawatan.

 Mengikuti ronde keperawatan bersama kepala ruangan.

 Menerima pasien baru.

 Melakukan pelaporan dan pendokumentasian

b. Pengorganisasian dan ketenagaan:

 Menerima penjelasan tujuan dari metode penugasan keperawatan tim.

 Menerima rincian tugas dari ketua tim sesuai dengan perencanaan terhadap pasien

yang menjadi tanggung jawabnya dalam pemberian asuhan keperawatan.

 Melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua tim.

 Melaksanakan koordinasi pekerjaan dengan tim kesehatan lain.

 Menyesuaikan waktu istirahat dengan anggota tim/ pelaksana lainnya.

 Melaksanakan asuhan keperawatan.

 Menunjang pelaporan dan pendokumentasian tindakan keperawatan yang

dilakukan.

c. Pengarahan:

 Menerima pengarahan dan bimbingan dari ketua tim tentang tugas setiap anggota

tim/ pelaksana.

 Menerima informasi dari ketua tim berhubungan dengan asuhan keperawatan.

 Menerima pujian dari ketua tim.

 Dapat menerima teguran dari ketua tim apabila melalaikan tugas atau membuat

kesalahan.

 Mempunyai motivasi terhadap upaya perbaikan.

 Terlibat aktif dari awal sampai dengan akhir kegiatan.

 Menunjang pelaporan dan pendokumentasian.

d. Pengawasan:

 Menyiapkan dan menunjukkan bahan yang diperlukan untuk proses evaluasi serta

terlibat aktif dalam mengevaluasi kondisi pasien.

 Menunjang pelaporan dan pendokumentasian

Kelebihan dan kelemahan tim, PP

1. PP

a. Kelebihan:

 Bersifat kontinu dan komperhensif

 Perawat primer mendapatkan akuntabilitas yang tinggi terhadap hasil dan

memungkinkan pengembangan diri,

 Keuntungan antara lain terhadap pasien, perawat, dokter, dan rumah sakit (Gillies,

1989).

 Selain itu, kelebihan yang dirasakan adalah pasien merasa dihargai karena

terpenuhi kebutuhannya secara individu. Selain itu, asuhan yang diberikan

bermutu tinggi dan akan tercapai pelayanan yang efektif terhadap pengobatan,

dukungan, proteksi, informasi, dan advokasi. Dokter juga merasakan kepuasan

dengan sistem/model primer karena senantiasa mendapatkan informasi tentang

kondisi pasien yang selalu diperbaharui dan komperhensif.

b. Kelemahan:

Hanya dapat dilakukan oleh perawat yang memiliki pengalaman dan pengetahuan

yang memadai dengan kriteriaasertif, self direction, memiliki kemampuan untuk

mengambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klinik, akuntabel asertif,

self direction, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat,

menguasai keperawatan klinik, akuntabel, serta mampu berkolaborasi dengan berbagai

disiplin.

2. Tim

a. Kelebihan

o Saling memberi pengalaman antar sesama tim.

o Pasien dilayani secara komfrehesif

o Terciptanya kaderisasi kepemimpinan

o Tercipta kerja sama yang baik .

o Memberi kepuasan anggota tim dalam hubungan interpersonal

o Memungkinkan menyatukan anggota tim yang berbeda-beda dengan aman dan

efektif.

b. Kelemahan

 Tim yang satu tidak mengetahui mengenai pasien yang bukan menjadi tanggung

jawabnya.

 Rapat tim memerlukan waktu sehingga pada situasi sibuk rapat tim ditiadakan

atau trburu-buru sehingga dapat mengakibatkan kimunikasi dan koordinasi antar

anggota tim terganggu sehingga kelanncaran tugas terhambat.

 Perawat yang belum terampil dan belum berpengalaman selalu tergantung atau

berlindung kepada anggota tim yang mampu atau ketua tim.

 Akontabilitas dalam tim kabur.

Syarat PP

Luluan dari ners

Berpengalaman

Perawat harus kontinuitas dan komprehensif dalam masalah keperawatan serta bertanggung

jawab

Konsep dasar :

1. Ada tanggung jawab dan tanggung gugat

2. Ada otonomi

3. Ada keterlibatan pasien dan keluarganya

Ketenagaan :

1. Setiap perawat primer adalah perawat bed. side.

2. Beban kasus pasien maksimal 6 pasien untuk 1 perawat

3. Penugasan ditentukan oleh kepala bangsal.

4. Perawat profesional sebagai primer d.an perawat non profesional sebagai asisten.

Dalam menetapkan seseorang menjadi PP perlu berhati-hati karena memerlukan

beberapa kriteria, yaitu perawat yang menunjukkan kemampuan asertif, perawat yang

mandiri, kemampuan menmgambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klini,

akuntabel, bertanggung jawab serta mampu berkolaborasi dengan baik dengan berbagai

disiplin. Di negara maju pada umumnya perawat yang ditunjuk sebagai PP adalah seorang

spesialis perawat klinis (clinical nurse specialist) dengan kualifikasi master keperawatan.

Menurut Ellis dan Hartley (1995), Kozier et al (1997) seorang PP bertanggung jawab untuk

membuat keputusan yang terkait dengan asuhan keperawatan klien oleh karena itu kualifikasi

kemampuan PP minimal adalah sarjana keperawatan/Ners. (Sitorus, 2006).

Perbedaan model tim dan PP

Metode tim

Metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat

profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan

keperawatan pada sekelompok klien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif (Douglas,

1992). Metode tim didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok mempunyai

kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan sehingga menimbulkan

rasa tanggung jawab yang tinggi. (Sitorus, 2006).

Pelaksanaan metode tim berlandaskan konsep berikut (Sitorus, 2006) :

a. Ketua tim, sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai teknik

kepemimpinan. Ketua tim harus dapat membuat keputusan tentang prioritas perencanaan,

supervisi, dan evaluasi asuhan keperawatan. Tanggung jawab ketua tim adalah :

1) Mengkaji setiap klien dan menetapkan renpra

2) Mengkoordinasikan renpra dengan tindakan medis

3) Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota kelompok dan memberikan

bimbingan melalui konferensi

4) Mengevaluasi pemberian askep dan hasil yang dicapai serta mendokumentasikannya

b. Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas renpra terjamin. Komunikasi yang

terbuka dapat dilakukan melalui berbagai cara, terutama melalui renpra tertulis yang

merupakan pedoman pelaksanaan asuhan, supervisi, dan evaluasi.

c. Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim.

d. Peran kepala ruangan penting dalam metode tim. Metode tim akan berhasil baik apabila

didukung oleh kepala ruang untuk itu kepala ruang diharapkan telah :

1) Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf

2) Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan

3) Memberi kesempatan pada ketua tim untuk pengembangan kepemimpinan

4) Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim keperawatan

5) Menjadi narasumber bagi ketua tim

6) Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset keperawatan

7) Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka

Hasil penelitian Lambertson dalam Douglas (1992) menunjukkan bahwa metode tim

jika dilakukan dengan benar adalah metode pemberian asuhan yang tepat untuk meningkatkan

kemanfaatan tenaga keperawatan yang bervariasi kemampuannya. (Sitorus, 2006).

Kekurangan metode ini, kesinambungan asuhan keperawatan belum optimal sehingga pakar

menge mbangkan metode keperawatan primer. (Sitorus, 2006).

Metode perawatan primer

Menurrut Gillies (1989) “Keperawatan primer merupakan suatu metode pemberian

asuhan keperawatan, dimana terdapat hubungan yang dekat dan berkesinambungan antara

klien dan seorang perawat tertentu yang bertanggungjawab dalam perencanaan, pemberian,

dan koordinasi asuha keperawatan klien, selama klien dirawat.” (Sitorus, 2006).

Pada metode keperawatan primer perawat yang bertanggung jawab terhadap pemberian

asuhan keperawatan disebut perawat primer (primary nurse) disingkat dengan PP. (Sitorus,

2006).

Metode keperawatan primer dikenal dengan ciri yaitu akuntabilitas, otonomi, otoritas,

advokasi, ketegasan, dan 5K yaitu kontinuitas, komunikasi, kolaborasi, koordinasi, dan

komitmen. (Sitorus, 2006).

Setiap PP biasanya merawat 4 sampai 6 klien dan bertanggungjawab selama 24 jam

selama klien tersebut dirawat dirumah sakit atau di suatu unit. Perawat akan melakukan

wawancara mengkaji secara komprehensif, dan merencanakan asuhan keperawatan. Perawat

yang peling mengetahui keadaaan klien. Jika PP tidak sedang bertugas, kelanjutan asuhan

akan di delegasikan kepada perawat lain (associated nurse). PP bertanggungjawab terhadap

asuhan keperawatan klien dan menginformasikan keadaan klien kepada kepala ruangan,

dokter, dan staff keperawatan. (Sitorus, 2006).

Seorang PP bukan hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan asuhan

keperawatan, tetapi juga mempunyai kewengangan untuk melakukan rujukan kepada pekerja

sosial, kontrak dengan lembaga sosial di masyarakat, membuat jadwal perjanjian klinik,

mengadakan kunjungan rumah dan lain lain. Dengan diberikannya kewenangan, dituntut

akuntabilitas perawat yang tinggi terhadap hasil pelayanan yang diberikan. Metode

keperawatan primer memberikan beberapa keuntungan terhadap klien, perawat, dokter, dan

rumah sakit (Gillies, 1989). (Sitorus, 2006).

Keuntungan yang dirasakan klien ialah mereka merasa lebih dihargai sebagai manusia

karena terpenuhi kebutuhannya secara individu, asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan

tercapainya layanan yang efektif terhadap pengobatan, dukungan,

proteksi, informasi, dan advokasi. Metode itu dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan

karena (Sitorus, 2006) :

a. Hanya ada 1 perawat yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan koordinasi asuhan

keperawatan

b. Jangkauan observasi setiap perawat hanya 4-6 klien

c. PP bertanggung jawab selama 24 jam

d. Rencana pulang klien dapat diberikan lebih awal

e. Rencana asuhan keperawatan dan rencana medik dapat berjalan paralel.

Keuntungan yang dirasakan oleh PP adalah memungkinkan bagi PP untuk

pengembangan diri melalui implementasi ilmu pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena

adanya otonomi dalam membuat keputusan tentang asuhan keperawatan klien. Staf medis

juga merasakan kepuasannya dengan metode ini karena senantiasa mendapat informasi

tentang kondisi klien yang mutakhir dan komprehensif. (Sitorus, 2006).

Informasi dapat diperoleh dari satu perawat yang benar-benar mengetahui keadaan

klien. Keuntungan yang diperoleh oleh rumah sakit adalah rumah sakit tidak harus

memperkerjakan terlalu banyak tenaga keperawatan, tetapi harus merupakan perawat yang

bermutu tinggi. (Sitorus, 2006).

Huber (1996) menjelaskan bahwa pada keperawatan primer dengan asuhan berfoukus

pada kebutuhan klien, terdapat otonomi perawat dan kesinambungan asuhan yang tinggi.

Hasil penelitian Gardner (1991) dan Lee (1993) dalam Huber (1996) mengatakan bahwa mutu

asuhan keperawatan lebih tinggi dengan keperawatan primer daripada dengan metode tim.
MAKALAH KEPERAWATAN ANAK
PEMERIKSAAN NEUROLOGI


Description: Description: 20141002174916.jpg


Disusun Oleh:
Rizka Hidayatul p.
(7114016)



PROGRAM D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS  ILMU  KESEHATAN
UNIVERSITAS  PESANTREN  TINGGI  DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2016





KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah makalah tentang pemeriksaan neurologi pada anak dapat terselesaikan dengan baik. Meskipun masih banyak kekurangan baik dari isi, sistematika, maupun cara penyajiannya.
Makalah tentang pemeriksaan neurologi pada anak ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah keperawatan anak semester 4 Program Studi Ilmu Keperawatan di UNIPDU.
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Pujiani, S. Kep.Ns, M.Kep. selaku dosen pengampu Mata Kuliah keperawatan anak  ini. Serta bagi semua pihak yang turut mendukung dalam pembuatan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari materi tentang pemeriksaan neurologi pada anak. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti lain yang akan menulis tentang tema yang sama, khususnya bagi kami sendiri sebagai penyusun.


                                                                                                              
                                                                       
Jombang, 11 maret 2016


Penyusun
                                 






PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
PADA BAYI DAN ANAK

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS PADA BAYI DAN ANAK
Pemeriksaan neurologis pada bayi merupakan hal tidak gampang untuk dilakukan, hal ini disebabkan karena bayi normal selalu bergerak aktif. Untuk dapat menilai apakah pemeriksaan itu normal atau abnormal, maka penting untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana proses  perkembangan anak normal.
Pada makalah ini akan dibicarakan mengenai beberapa cara pemeriksaan neurologis yang penting dalam praktek sehari-hari untuk mendeteksi secara dini kemungkinan-kemungkinan adanya penyimpangan tumbuh dan kembang bayi dan anak.
Adanya variasi-variasi individual pada pemeriksaan neurologis bayi ini mungkin terjadi dan harus selalu dipertimbangkan. Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis pada bayi, perlu diketahui adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan, yaitu:
1.      Waktu Pemeriksaan.
Waktu yang paling tepat untuk melakukan pemeriksaan adalah 2-3 jam setelah bayi selesai minum. Bayi dan anak yang diperiksa dalam keadaan mengantuk atau letih akan memberikan reaksi berlainan bila dibandingkan dengan mereka yang sudah beristirahat cukup.
2.      Suhu Ruang Periksa.
Suhu ruangan yang baik pada saat pemeriksaan adalah berkisar antara 27-290C.
Seperti halnya juga pada pemeriksaan-pemeriksaan klinis lainnya, sebaiknya pemeriksaan dimulai dengan inspeksi setelah itu diikuti dengan menilai fungsi penglihatan, fungsi pendengaran, fungsi motorik dan lain-lain.
INSPEKSI
Bayi atau bayi baru lahir secara normal akan berbaring dengan posisi lengan dan tungkai dalam keadaan fleksi, sedangkan tangannya menggenggam. Posisi bayi baru lahir tanpa kelainan neurologis bila diletakkan pada meja periksa dalam posisi telungkup (pronasi/prone position) maka kepalanya masih akan menempel pada meja, kedua lengan dan tungkainya dalam keadaan fleksi  dan bokong ke atas. Dengan semakin bertambahnya usia, maka kepalanya akan diangkat. Posisi fleksi pada bayi normal akan semakin tampak kurang jelas dengan semakin bertambahnya usia. Beberapa posisi abnormal yang dapat dijumpai pada bayi atau bayi baru lahir antara lain:
a.       FROG POSTURE
Yaitu bilamana kedua lengannya terbaring lemas di samping tubuhnya, kedua tangan terbuka disertai abduksi dan eksternal rotasi sendi panggul. Besar kemungkinan bayi tersebut adalah “Floppy Infant”.
b.      HEMIPLEGI
Yaitu bilamana hanya ekstremitas satu sisi yang fleksi, sedangkan sisi lainnya esktensi lemah. Bila hanya satu ekstremitas atas yang ekstensi lemah, kemungkinan suatu “Erb’s Paralyse”.
c.       OPISTHOTONUS
Bilamana dijumpai opisthotonus yang disertai dengan ekstensi spastik pada ke-empat ekstremitas kita curigai adanya “Cerebral Palsy”.
d.      HIPOTONI
Yaitu apabila bayi terbaring lurus tertelungkup dengan posisi kedua lengan dan tungkainya diletakkan lurus di atas meja. Biasanya bayi dengan posisi seperti ini memiliki kelainan pada SSP.
PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS
Ada 12 buah saraf kranialis yang harus dievaluasi pada bayi dan anak. Dengan melakukan pemeriksaan lengkap pada ke 12 buah saraf kranialis tersebut kita dapat mengetahui ada tidaknya gangguan pada otak.
a.       PTOSIS
Adanya ptosis baik unilateral maupun bilateral menunjukkan kemungkinan adanya gangguan di beberapa sistem saraf, antara lain:
·         Lesi pada saraf  impatik m. elevator palpebra ( Horner’s Synd rome),
·         Lesi pada N.III (Okulomotorius)
·         Congenital Myasthenia Gravis,
·         Myotonic Dystrophy
·         Congenital Muscular Dystrophy
·         Centronuclear Myopathy
b.      Gerakan Bola Mata
Observasi pada pergerakan bola mata dapat menunjukkan adanya gangguan pada otot-otot ekstraokuler yang diinervasi oleh N.III, N.IV (Trokhlearis) dan N.VI (Abdusens) Pada anak, gerakan bola mata dapat dinilai dengan menyuruh anak mengikuti gerakan jari ke berbagai arah. Kegagalan gerakan bola mata kearah lateral disebabkan gangguan saraf otak VI yang mensarafi otot rectus lateralis. Sedangkan kegagalan gerakan bola mata ke medial adalah kelumpuhan pada saraf otak III yang mensarafi otot rectus medialis. Gangguan pada semua arah gerakan menandakan adanya gangguan pada nukleus batang otak. Pemeriksaan funduskopi dapat menilai adanya korioretinitis, perdarahan atau edema papil. Apabila dicurigai adanya gangguan visus, dianjurkan konsultasi dengan dokter mata.2,5
c.       Otot Wajah
Pada saat bayi atau anak menangis kita dapat melihat apakah kontraksi otot-otot wajahnya simetris atau tidak. Adanya lesi pada N.VII (Fasialis) menyebabkan wajah bayi atau anak tampak tidak simetri pada waktu menangis.
d.      Mengisap
Kekuatan mengisap pada bayi dan anak, selain dipengaruhi otot-otot wajah yang diinervasi N.VII juga dipengaruhi oleh N.V (Trigeminus). Lesi pada kedua saraf kranialis tersebut menyebabkan bayi atau anak mengalami kesulitan mengisap ASI atau PASI.
e.       Penciuman
Merupakan fungsi dari N.I (Olfaktorius). Pemeriksaan penciuman pada bayi bukanlah hal yang mudah, tetapi pada anak yg lebih besar kita bisa meminta mereka untuk membau dengan posisi mata tertutup. Sebelum melakukan tes, pastikan terlebih dahulu tidak didapatkan adanya gangguan atau sumbatan pada lubang hidung. Pada bayi kita bisa menempelkan gelas obyek atau membran dan melihat adanya pengembunan akibat udara yang dikeluarkan. Anosmia adalah ketidakmampuan untuk membau aroma. Anosmia unilateral biasanya berkaitan dengan kerusakan pada SSP. Kerusakan yang terjadi bisa pada N.I itu sendiri, talamus atau lobus frontalis, atau pada struktur struktur yang menghubungkan organ-organ tersebut. Penyebab kelainan ini adalah trauma kepala, aneurisma, perdarahan intraserebral atau tumor.
f.       Refleks Cahaya
Refleks cahaya yang positif menunjukkan adanya respon dari N.II dan N.III.
g.      N.IX dan N.X
Refleks muntah, pergerakan pallatum dan faring, kemampuan menelan dan kekuatan tangis bayi dipengaruhi oleh inervasi N.IX (Glosofaringius) dan N.X (Vagus).



h.      Posisi Lidah
Pada lidah perhatikan ada tidaknya atropi atau  asikulasi. Lidah diperiksa harus dalam keadaan istirahat di dasar mulut. Apabila didapatkan kontraksi yang cepat dan fasikulasi, harus dicurigai adanya gangguan pada nukleus N.XII (Hipoglosus) atau kranialis N.XII.
FUNGSI MOTORIK
Evaluasi sistem motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara formal dan biasanya cukup pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan otot hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa dan kooperatif. Pada bayi dan anak yang tidak kooperatif hanya dapat dinilai kesan keseluruhan saja.
a.       Respon Traksi
Pada seorang bayi atau anak yang normal, sebelum dapat duduk maka dia terlebih dahulu harus mempunyai kontrol terhadap fungsi otot-otot lehernya. Sejak lahir sampai dengan usia 2 bulan, kepala anak akan tertinggal bilamana  ita mengangkat anak tersebut pada kedua tangannya dari posisi tidur ke posisi duduk. Keadaan ini disebut dengan “Head Leg”. Salah satu tes untuk mengetahui kontrol terhadap otot-otot leher dan kepala ini adalah Respon Traksi.
Caranya:Bayi ditidurkan dalam posisi supinasi simetris, kemudian pemeriksa memegang kedua tangan bayi pada pergelangan tangan, secara perlahan-lahan anak ditarik sampai pada posisi duduk. Kemudian dievaluasi kemampuan bayi dalam mengontrol posisi leher dan kepalanya. Apabila kepala masih tertinggal di belakang pada saat bayi posisi duduk maka head  leg-nya positif (masih ada), tapi apabila bayi mampu mengangkat kepalanya pada saat posisi duduk maka head leg-nya negatif (menghilang). Head leg harus sudah menghilang setelah bayi berusia 3 bulan. Apabila setelah usia 3 bulan masih didapatkan head leg yang positif, maka harus dicurigai adanya kemungkinan hipotoni, kelainan SSP atau prematuritas.
b.      Suspensi Ventral
Dengan melalukan tes suspensi ventral kita dapat mengetahui kontrol kepala, curvatura thoraks dan kontrol tangan dan kaki terhadap gravitasi.
Caranya: Bayi ditidurkan dalam posisi pronasi, kemudian telapak tangan pemeriksa menyanggah badan bayi pada daerah dada. Pada bayi aterm dan normal, posisi kepala akan jatuh ke bawah ± membentuk sudut 45 atau kurang dari posisi horizontal, punggung lurus atau sedikit fleksi, tangan fleksi pada siku dan sedikit  kstensi pada sendi bahu dan sedikit fleksi pada sendi lutut. Dengan bertambahnya usia, posisi kepala terhadap badan bayi akan semakin lurus (horizontal). Pada bayi hipotoni, leher dan kepala bayi sangat lemas sehingga pada tes suspensi ventral akan berbentuk seperti hurup “U” terbalik. Sedangkan pada bayi palsi serebral tes suspensi ventral akan menunjukkan posisi hiperekstensi.













REFLEKS-REFLEKS PADA BAYI DAN ANAK
Refleks-refleks yang ditimbulkan pada bayi dan anak, sebagian besar menunjukkan tahap perkembangan susunan somatomotorik sehingga banyak sekali informasi yang dapat diperoleh dengan melakukan pemeriksaan tersebut.
Tabel 1. Usia Mulai dan Menghilangnya Refleks Pada Bayi dan Anak Normal
Jenis refleks
Usia mulai
Usia menghilang
Reflek MORO
Sejak lahir
6 bulan
Refleks Memegang (GRASP)


PALMAR
Sejak lahir
6 bulan
PLANTAR
Sejak lahir
9-10 bulan
Refleks SNOUT
Sejak lahir
3 bulan
Refleks TONIC NECK
Sejak lahir
5-6 bulan
Refleks Berjalan (STEPPING)
Sejak lahir
12 bulan
Reaksi Penempatan Taktil
(PLACING RESPONSE)
5 bulan

Refleks Terjun (PARACHUTE)
8-9 bulan
Seterusnya ada
Refleks LANDAU
3 bulan
21 bulan

a.      Refleks MORO
Refleks MORO timbul akibat dari rangsangan yang mendadak. Caranya:Bayi dibaringkan terlentang, kemudian diposisikan setengah duduk dan disanggah oleh kedua telapak tangan pemeriksa, secara tiba-tiba tapi hati-hati kepala bayi dijatuhkan 30–45 (merubah posisi badan anak secara mendadak). Refleks MORO juga dapat ditimbulkan dengan menimbulkan suara keras secara mendadak ataupun dengan menepuk tempat tidur bayi secara mendadak. Refleks MORO dikatakan positif bila terjadi abduksi-esktensi ke-empat ekstremitas dan pengembangan jari-jari, kecuali pada falangs distal jari telunjuk dan ibu jari yang dalam keadaan fleksi. Gerakan itu segera diikuti oleh adduksi-fleksi ke-empat ekstremitas. Refleks MORO asimetri menunjukkan adanya gangguan sistem neuromuskular, antara lain pleksus brakhialis. Apabila asimetri terjadi pada tangan dan kaki kita harus mencurigai adanya HEMIPARESIS. Selain itu juga perlu dipertimbangkan bahwa nyeri yang hebat akibat fraktur klavikula atau humerus juga dapat memberikan hasil refleks MORO asimetri. Sedangkan refleks MORO menurun dapat ditemukan pada bayi dengan fungsi SSP yang tertekan misalnya pada bayi yang mengalami hipoksia, perdarahan intrakranial dan laserasi jaringan otak akibat trauma persalinan, juga pada bayi hipotoni, hipertoni dan prematur. Refleks MORO menghilang setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan.


b.Refleks PALMAR GRASP
Caranya: Bayi atau anak ditidurkan dalam posisi supinasi, kepala menghadap ke depan dan tangan dalam keadaan setengah fleksi. Dengan memakai jari telunjuk pemeriksa menyentuh sisi luar tangan menuju bagian tengah telapak tangan secara cepat dan hati-hati, sambil menekan permukaan telapak tangan. Refleks PALMAR GRASP dikatakan positif apabila didapatkan fleksi seluruh jari (memegang tangan pemeriksa). Refleks PALMAR GRASP asimetris menunjukkan adanya kelemahan otot-otot fleksor jari tangan yang dapat disebabkan akibat adanya palsi pleksus brakhialis inferior atau disebut “Klumpke’s Paralyse”. Refleks PALMAR GRASP ini dijumpai sejak lahir dan menghilang setelah usia 6 bulan. Refleks PALMAR GRASP yang menetap setelah usia 6 bulan khas dijumpai pada penderita cerebral palsy.
b.      Refleks PLANTAR GRASP
Caranya: Bayi atau anak ditidurkan dalam posisi supinasi kemudian ibu jari tangan pemeriksa menekan pangkal ibu jari bayi atau anak di daerah plantar. Refleks PLANTAR GRASP dikatakan positif apabila didapatkan fleksi plantar seluruh jari kaki. Refleks PLANTAR GRASP negatif dijumpai pada bayi atau anak dengan kelainan pada medula spinalis bagian bawah. Refleks PLANTAR GRASP ini dijumpai sejak lahir, mulai menghilang usia 9 bulan dan pada usia 10 bulan sudah menghilang sama sekali.
c.       Refleks SNOUT
Caranya: Dilakukan perkusi pada daerah bibir atas. Refleks SNOUT dikatakan positif apabila didapatkan respon berupa bibir atas dan bawah menyengir atau kontraksi otot-otot di sekitar bibir dan di bawah hidung. Refleks SNOUT ini dijumpai sejak lahir dan menghilang setelah usia 3 bulan. Refleks SNOUT yang menetap pada anak besar menunjukkan adanya regresi SSP.
d.      Refleks TONIC NECK
Caranya: Bayi atau anak ditidurkan dalam  posisi supinasi, kemudian kepalanya diarahkan menoleh ke salah satu sisi. Refleks TONIC NECK dikatakan positif apabila lengan dan tungkai yang dihadapi/sesisi menjadi hipertoni dan ekstensi, sedangkan 6 lengan dan tungkai sisi lainnya/dibelakangi menjadi hipertoni dan fleksi Refleks TONIC NECK ini dijumpai sejak lahir dan menghilang setelah usia 5-6 bulan. Refleks TONIC NECK yang masih mantap pada bayi berusia 4 bulan harus dicurigai abnormal. Dan apabila masih bisa dibangkitkan setelah berusia 6 bulan atau lebih harus sudah dianggap patologik. Gangguan yang terjadi biasanya pada ganglion basalis.
e.       Refleks Berjalan (STEPPING)
Caranya: Bayi dipegang pada daerah thorak dengan kedua tangan pemeriksa. Kemudian pemeriksa mendaratkan bayi dalam posisi berdiri di atas tempat periksa. Pada bayi berusia kurang dari 3 bulan, salah satu kaki yang menyentuh alas tampat periksa akan berjingkat sedangkan pada yang berusia lebih dari 3 bulan akan menapakkan kakinya. Kemudian diikuti oleh kaki lainnya dan kaki yang sudah menyentuh alas periksa akan berekstensi seolah-olah melangkah untuk melakukan gerakan berjalan secara otomatis. Refleks berjalan tidak dijumpai atau negatif pada penderita cerebral palsy, mental retardasi, hipotoni, hipertoni dan keadaan dimana fungsi SSP tertekan.
f.       Reaksi Penempatan Taktil (PLACING RESPONSE)
Caranya: Seperti pada refleks berjalan, kemudian bagian dorsal kaki bayi disentuhkan pada tepi meja periksa. Respon dikatakan positif bila bayi meletakkan kakinya pada meja periksa. Respon yang negatif dijumpai pada bayi dengan paralise ekstremitas bawah.
g.      Refleks Terjun (PARACHUTE)
Caranya: Bayi dipegang pada daerah thorak dengan kedua tangan pemeriksa dan kemudian diposisikan seolah-olah akan terjun menuju meja periksa dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki. Refleks terjun dikatakan positif apabila kedua lengan bayi diluruskan danjari-jari kedua tangannya dikembangkan seolah-olah hendak mendarat di atas meja periksa dengan kedua tangannya. Refleks terjun tidak dipengaruhi oleh kemampuan visual, karena pada bayi buta dengan fungsi motorik normal akan memberikan hasil yang positif. Refleks terjun mulai tampak pada usia 8 – 9 bulan dan menetap. Refleks terjun negatif dijumpai pada bayi tetraplegi atau SSP yang tertekan.

PENGUKURAN LINGKAR KEPALA SEBAGAI ALAT DETEKSI DINI KELAINAN NEUROLOGIS
Pengukuran lingkar kepala (Head Circumference) merupakan bagian dari pemeriksaan klinis yang murah, mudah dan sangat penting pada bayi dan anak. Pertumbuhan kepala sangat tergantung dari pertumbuhan isi kepala. Apabila otak tidak berkembang secara maksimal maka kepala akan tetap kecil dan hal ini merupakan tanda akan terjadinya perkembangan mental yang ubnormal. Selain itu, apabila didapatkan hambatan terhadap jalannya cairan serebrospinal (CSS) akan menyebabkan terjadinya peningkatan volume kepala sehingga kepala akan membesar. Penambahan lingkar kepala yang cepat merupakan tanda pertama adanya kemungkinan hidrosefalus.
Walaupun demikian, harus dipertimbangkan pula kecepatan pertumbuhan dari berat badan dan lingkar dada, karena pada beberapa kasus dimana pengukuran lingkar kepala menunjukkan pembesaran yang cepat tetapi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan berat badan ternyata masih dalam batas normal.
Oleh karena itu selain pengukuran lingkar kepala perlu diperhatikan pula bentuk kepala penderita dan orang tuanya, ubun-ubun besar penderita, sutura dan lain-lain. Pengukuran lingkar kepala yang benar adalah mengukur lingkaran kepala yang melewati titik suboksipito-bregmatikus. Sampai dengan sekarang tabel yang dipergunakan sebagai referensi pengukuran lingkar kepala pada bayi dan anak adalah Tabel NELLHAUS dimana lingkar kepala bertambah 12 cm dalam 12 bulan pertama dengan distribusi yang tidak merata.











Tabel 2. Lingkar kepala Menurut Nellhaus
untuk Bayi dan Anak Laki-laki.                        Tabel 3. Lingkar Kepala Menurut Nellhaus untuk Bayi dan Anak Perempuan
Palpasi pada fontanel (ubun-ubun) dapat mencerminkan keadaan tekanan intrakranial. Pada keadaan normal, ubun-ubun besar (fontanel anterior) teraba sedikit cekung dan teraba adanya pulsasi arteri. Ukuran rata-rata berkisar 2,1 cm dan telah menutup pada usia 13,8 bulan. Secara umum, ubun-ubun besar mulai menutup pada umur 9 bulan dan telah menutup pada usia 18 bulan. Ukuran ubun-ubun yang lebar dan lambat menutup dapat dijumpai pada keadaan akondroplasi, hipotiroid, sindrom Down, peningkatan tekanan intrakranial dan penyakit rikets. Auskultasi dapat dilakukan pada daerah glabela, temporal, leher, mata, di belakang telinga dan mastoid. Bruit dapat ditemukan normal pada anak usia 4 – 5 tahun berkisar 10% lebih.5
Beberapa penyebab yang mengakibatkan pertumbuhan lingkar kepala menjadi tidak normal adalah sebagai berikut:
a.       Lingkar Kepala Mengecil (<-2 SD)
·         Bayi kecil
·         Familial feature
·         Mental subnormality
·         Kraniostenosis
b.      Lingkar Kepala Besar (>+2 SD)
·         Bayi besar
·         Familial feature
·         Hidrosefalus
·         Megaensefali
·         Hidranensefali
·         Tumor serebral
·         Efusi subdural

KELAINAN NEUROMUSKULAR
Pada pembahasan kelainan neuromuskular ini kita hanya membahas kelainan pada Lower Motor Neuron (LMN) dan tidak Uppe  Motor Neuron (UMN). Pengertian LMN adalah semua neuron yang menyalurkan impuls motorik pada sel otot. Sedangkan UMN adalah semua neuron yang menyalurkan impuls motorik dari korteks serebri menuju LMN
Tabel 4. Perbedaan antara UMN dan LMN
Tonus otot
Hipotoni (bayi) atau spastik (bayi dan anak)
hipotoni
Kekuatan otot
Normal atau sedikit menurun
Sangat menurun (lemah)
Reflek-reflek
Refleks tendon meningkat
Refleks-refleks bayi menetap
Tes babinski positi
Tes klonus ankle dan lutut positif
Refleks tendon menurun atau tidak ada sama sekali
Tes babinski negatif
Tes klonus negatif
Massa otot
Biasanya tidak dijumpai atropi
Dijumpai atropi (sulit ditemukan pada bayi)
Ditemukan fasikulasi (sulit ditemukan pada bayi kecuali di lidah)
Komponen LMN dari susunan neuromuskular terdiri dari neuron alpha dan neuron gamma, akson, motor end plate dan otot. Pada setiap gerakan otot, komponen-komponen tersebut merupakan “pelaksana” sedangkan UMN merupakan “perencana” dan “pencetus”-nya.
Sehingga apabila terjadi kelumpuhan LMN akibat lesi bagian manapun, baik neuron, akson, motor end plate atau otot, semuanya akan menunjukkan ciri-ciri lesi LMN yang sama (lihat tabel 4) Penilaian derajad kekuatan otot bermacam-macam. Salah satunya menilai dengan menggunakan skala angka 5 sampai 0, dengan interpretasi sebagai berikut:
5     =     Normal
4     =     Dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan tahanan secara simultan
3     =     Dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi tidak dapat menggerakkan anggota badan untuk melawan tahanan pemeriksa
2     =     Dapat menggerakkan anggota gerak, tetapi tidak kuat menahan berat dan tidak dapat melawan tahanan pemeriksa
1     =     Terlihat atau teraba ada gerakan kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan anggota gerak sama sekali
0     =     Paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali
Kelainan sistem neuromuskular LMN diklasifikasikan berdasarkan lokasi lesi anatominya, yaitu:
a.       Anterior Horn Cell
·         Hereditary:
·         Spinal Muscular  Atrophy
·         Acquired:
·         Poliomyelitis

b.      Nerve Fibre
Neuropathies:
1. Demyelinating (Infectious Polyneuritis, Personal Muscular Atrophy, Leucodystrophies)
2. Axonal (lead, diabetes, porphyria)
c.       Neuromuscular Junction Myasthenia gravis
d.      Muscle
Hereditary:
1. Muscular Distrophy
2. Dystrophia Myotonica
3. ongenital Myopathies
4. Metabolic Myopathies (Glycogenoses type II and IV, Malignant Hyperpyrexia)
Acquired:
1.      Dermatomyositis/Poliomyositis
2.      Endocrine
3.      Myopathies (Thyrotoxic)
4.      Iatrogenic (Steroid Myopathy)
Dengan semakin majunya teknik elektrofisiologi, enzim histokimia dan mikroskop elektron, semakin banyak pula kelainan-kelainan neuromuskular yang dapat didiagnosis. Pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk mengetahui lesi anatomi pada kelainan neuromuskular antara lain:
1.      Creatine Phospokinase (CPK)
Kadar CPK biasanya meningkat pada beberapa kelainan  neuro-muskular. CPK banyak ditemukan pada otot polos, otot skeletal dan jaringan otak dan sedikit pada jaringan hepar dan sel darah merah. CPK mempunyai 2 sub unit isoenzim  yang dikenal sebagai “M” dan “B”, dengan distribusi sebagai berikut:
MM = Isoenzim hanya didapatkan pada otot skeletal
BB = Isoenzim banyak didapatkan pada jaringan otak
MB = Isoenzim didapatkan pada otot jantung (Penting untuk mendiagnosis Infark Miokard)
Serum MM isoenzim biasanya 20–30 kali lebih besar daripada isoenzim lainnya sehingga peningkatan CPK biasanya menggambar kan peningkatan dari MM isoenzim (otot skeletal) Serum CPK sering digunakan untuk membedakan myopati dan proses neurogenik, terutama distropi yang disebabkan oleh kelainan sel kornu anterior Interpretasi kenaikan serum CPK biasanya menunjukkan bahwa proses yang terjadi adalah myopati dan bukan neurogenik.
2.      Serum Elektrolit
Pemeriksaan serum elektrolit yang penting pada kelainan neuromuskular adalah Kalium dan Kalsium. Selain kadar asetilkolin, kadar kalium dan kalsium di luar dan di dalam membran “motor  end plate”, mempengaruhi kepekaan “motor end plate” itu sendiri untuk melepaskan muatan listriknya. Kadar ion kalium yang kurang akan meninggikan kepekaan “motor end plate” sehingga titik depolarisasi menjadi tinggi dan muatan listrik sukar dilepaskan. Dalam keadaa tersebut serabut otot tidak dapat dikontraksikan, sehingga otot menjadi lumpuh (paralisis). Sedangkan kekurangan ion kalsium justru merendahkan ambang lepas muatan “motor end plate” dan serabut otot mudah terstimulasi, sehingga dalam keadaan hipokalsemi otot berkontraksi terus-menerus atau disebut TETANI
3.      ELEKTROFISIOLOGI
a.       Nerve Conduction Velocity Test (Tes Kecepatan Hantar Saraf):
Biasanya dilakukan pada saraf superfisial, misalnya N. Ulnaris atau N. Tibialis posterior. Melambatnya kecepatan hantar saraf biasanya menunjukkan adanya kelainan saraf perifer
b.      Electromyography Test (EMG)
Adanya perubahan gambaran EMG dapat membantu menentukan lokasi lesi, apakah di sel kornu anterior, saraf perifer atau di ototnya sendiri
4.      Biopsi Otot
Pada beberapa kasus kelainan neuromuskular diperlukan pemeriksaan biopsi otot untuk membantu memastikan diagnosis.
Salah satu pemeriksaan yang perlu diperhatikan pada saat pasien berbicara dan menangkap inti pembicaraan sebab hal ini menjadi fungsi hemisfer dominan. Hemisfer kiri adalah bagian yang dominan untuk berbicara yang pada umumnya terjadi pada pengguna tangan kanan dominan, sebagian juga pada orang kidal.Beberapa gangguan bicara dapat menandakan adanya gangguan pada system neuronya. Ada 3 jenis gangguan yang dapat dikategorikan gangguan bicara, yaitu:1-3
1.      Disartria
adalah suatu gangguan yang menyerang system otot bicara sehingga terjadi penurunan kemampuan artikulasi, enumerasi, dan irama bicara. Misalnya saat pasien diminta untuk menirukan kata “endokarditis” maka dapat diperkirakan pasien tidak dapat menirukan kata tersebut. Penurunan fungsi otot bicara tersebut dapat disebabkan oleh sklerosis amiotropik lateral, paralisis pseudobulbar, atau miastenia gravis.

2.      Disfonia
adalah suatu gangguan pada suara, atatu vokalisasi. Berbeda dengan disartia yang terdeteksi disebabkan oleh gangguan neuro, pada disfonia juga dapat disebabkan non-neurologis tetapi penyebab neurologisnya yaitu cedera saraf rekuren laringeus dan tumor otak. Karakteristik penderita disfonia adalah pasien diminta untuk mengucapkan kata “E” maka suara pasien terdengar parau dan kasar.
3.      Afasia
merupakan suatu istilah yang menyebutkan adanya hilangnya kemampuan untuk memahami, mengeluarkan dan menyatakan konsep bicara. Afasia dibagi menjadi 2 yaitu afasia motorik yang merupakan istilah hilangnya suatu konsep pemikiran seseorang yag tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata atau tulisan serta afasia sensorik merupakan hilangnya kemampuan untuk memahami suatu percakapan. Karakteristik penyebab afasia adalah adanya gangguan serebrovaskular yang mengenai arteria serebri media
Untuk mengetahui gangguan pada lapisan meningeal, perlu juga melakukan pemeriksaan tanda rangsang meningeal yaitu:1,5,6
1)      Kaku Kuduk
Caranya: Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang baring. Kepala ditekuk (fleksi), usahakan agar dagu menyentuh dada.
Interpretasi: kaku kuduk (+) bila terasa ada tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.
Kaku Kuduk (+) dijumpai pada meningitis, miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, arthritis di servikal.
2)      Tanda Kernig/Kernig Sign
Caranya:  Penderita baring, salah satu pahanya difleksikan sampai membuat sudut90°. Lalu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya ekstensi dilakukan sampai membentuk sudut 135°
Interpretasi: Tanda Kernig Sign (KS) (+) bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencaai sudut 135°
3)      Brudzinski (I, II, III, IV)
·         Brudzinski I (Brudzinski’s Neck Sign)
Caranya: Tangan ditempatkan di bawah kepala yang sedang baring. Kita tekuk kepala (fleksi) sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
Interpretasi: Tanda brudzinski I (+) bila terdapat fleksi pada kedua tungkai
·         Brudzinski II (Brudzinski’s Contra-Lateral Leg Sign)
Caranya: Pada pasien yang sedang baring, satu tungkai di fleksikan pada persendian panggul, sedang tungkai yang satunya lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus).
Interpretasi: Tanda Brudzinski II (+)  bila tungkai yang satunya ikut pula terfleksi.
·         Brudzinski III
Caranya: Tekan os zigomaticum
Interpretasi: Tanda Brudzinski III (+) bila terjadi fleksi involunter ekstremitas superior (lengan tangan fleksi)
·         Brudzinski IV
Caranya: Tekan simfisis ossis pubis (SOP)
Interpretasi: Tanda Brudzinski IV (+) bila terjadi fleksi involunter ekstremitas inferior (kaki)



























DAFTAR PUSTAKA

Mangunatmadja I. Pemeriksaan neurologis praktis pada bayi dan anak. [online] 2010 [cited on 2015 May 13]. Available from: http://www.scribd.com/doc/248311984/04-Pemeriksaan-Neurologis-Praktis-Pada-Bayi-Dan-Anak-Dr-Irawan-Koreksi#scribd
Ginting AP. Pemeriksaan neurologi pada anak dan bayi. [online] 2011 [cited on 2015 May 13]. Available from: http://www.scribd.com/doc/87533610/Pemeriksaan-Neurologis-Pada-Anak-Dan-Bayi#scribd
Dimyati Y. Pemeriksaan neurologis praktis pada bayi dan anak. [online] 2011 [cited on 2015 May 13]. Available from: http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-PEDIATRIC-NEURO/mk_pen_slide_pemeriksaan_neurologis_praktis_pada_bayi_dan_anak.pdf
Dewi R, Mangunatmadja I, Yuniar I. Perbandingan full outline of unresponsiveness score dengan Glasgow coma scale dalam menentukan prognostic pasien sakit kritis. Sari Pediatri. 2011 Oct; 13(3).h. 215-20.
Mangunatmadja I. Pendekatan klinis berbagai kasus neurologi anak. Sari Pediatri. 2010Sep; 5(2).h. 85 – 90.
Nasrullah. Refleks bayi baru lahir. Malang: Conitive Performance Seriens; 2012.
Tim adaptasi Indonesia, et al. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: WHO-DEPKES RI; 2009.
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandapura EP, Harmoni ED.
Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
Bickley, Lynn S. Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Edisi 8. Jakarta : EGC; 2009.
Capute AJ, Shapiro BK, Accardo PJ et al. Motor Function: Associated Primitive Reflex Profiles. Developmental Medicine & Child Neurology; 1982.
Soetomenggolo, Taslim S. Dan Sofyan Ismael. Buku Ajar Neurologi Anak Cetakan ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2000.
Lokakarya Tumbuh Kembang Anak. Pemeriksaan Neurologis Pada Bayi dan Anak. Jakarta; 2009.
Engel, J. Seri pedoman praktis pengkajian pediatrik edisi 4. Jakarta: EGC; 2008.
Berg OB. The clinical evaluation. Dalam: Berg OB, Editor. Principles of child neurology. New York: McGraw-Hill; 1996. h. 5-22.


Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 rizka_hp blog All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes
Blogger Templates